Sumbawa – Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penting di Indonesia selain padi. Jagung bermanfaat sebagai sumber pangan, pakan ternak, bahan baku industri, dan berperan dalam sektor energi sebagai sumber bioetanol. Selain itu, budidaya tanaman jagung juga relatif lebih mudah dan memiliki potensi keuntungan yang menarik bagi petani jika dibandingkan dengan tanaman pangan lain seperti kedelai. Berkaitan dengan manfaat dan nilai ekonominya, jagung memiliki peran strategis untuk dikembangkan.Oleh karena itu,saat ini pemerintah menjadikan komoditas jagung sebagai target swasembada pangan dalam rangka menjaga ketahanan pangan dan membuka peluang ekspor.
Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah sentra produksi jagung nasional. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB tahun 2024, angka sementara produksi jagung pipilan kering dengan kadar air 14% pada tahun 2024 diperkirakan sekitar 1.15 juta ton atau mengalami penurunan 9.96% jika dibandingkan dengan tahun 2023 yang mencapai 1.28 juta ton. Penurunan produksi jagung, selain disebabkan oleh penurunan luas panen, juga dapat disebabkan oleh adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) sepertiulat grayak Spodoptera frugiferdaJ.E. Smith (Lepidoptera:Noctuidae).
Ulat grayak S. frugiperda merupakan hama yang berasal dari Benua Amerika (Amerika Serikat dan Argentina). Hama ini pertama kali dilaporkan menyerang tanaman jagung di Indonesia pada tahun 2019, tepatnya di Sumatera Barat dan setelah itu menyebar ke daerah lainnya. Hama ini bersifat polifag atau memakan berbagai jenis tanaman sehingga memiliki kisaran inang yang luas, dan dilaporkan dapat menyerang lebih dari 80 spesies tanaman. Ulat grayak S. frugiperda secara genetik terdiri dari dua strain, yaitu strain padi yang menyukai tanaman padi atau spesies rumput lainnya, dan strain jagung yang utamanya menyerang tanaman jagung dan kadang-kadang sorgum.
Hama ulat grayak S. frugiperda dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi apabila tidak ditangani dengan baik. Hal ini selain dikarenakan memiliki kisaran inang luas, S. frugiperda juga memiliki siklus hidup pendek (32-46 hari), dan serangga betina mampu menghasilkan 900-1200 telur dalam siklus hidupnya. Serangan ulat grayak S. frugiperda pada tanaman jagung dapat terjadi pada semua stadia pertumbuhan tanaman, yaitu mulai dari fase vegetatif hingga generatif, dengan tingkat kerusakan tertinggi pada fase vegetatif. Selain itu, hama dapat menyerang semua bagian tanaman jagung, baik berupa akar, daun, bunga jantan dan bunga betina, serta tongkol. Kerusakan pada tanaman umumnya ditandai dengan adanya bekas gerekan ulat atau larva, yaitu berupa serbuk kasar seperti serbuk gergaji pada permukaan atas daun atau pucuk tanaman jagung. Persentase kehilangan hasil akibat serangan hama ulat S. frugiperda dapat mencapai 40%.
Mengingat tingkat kerusakan tanaman dan kerugian ekonomi, maka diperlukan upaya pengendalian yang tepat agar populasi atau tingkat serangan hama dapat ditekan. Hal ini dapat dilakukan dengan memadukan beberapa cara pengendalian dan menjadikan pestisida kimia sebagai pilihan terakhir.
Konsep ini dikenal dengan pengendalian hama terpadu atau PHT yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan pestisida kimia. Upaya pengendalian hama terpadu ulat S. frugiperda pada tanaman jagung dapat dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) 9282:2024 tentang pengelolaan hama terpadu ulat grayak (Spodoptera frugiferda J.E. Smith) pada tanaman jagung.
Berdasarkan SNI 9282:2024, strategi pengelolaan hama ulat S. frugiperda pada tanaman jagung dapat dilakukan dengan cara melakukan pengendalian secara kultur teknis, pengamatan berkala,pengendalian secara fisik, mekanis, biologis, dan kimia.
Pengendalian secara kultur teknis merupakan salah satu upaya pencegahan dari serangan hama ulat S. frugiperda pada tanaman jagung. Hal ini dapat dilakukan melalui pengolahan lahan dengan cara membalik tanah agar pupa dari S. frugiperda dapat terangkat dan mati terkena sinar matahari; penggunaan benih unggul; perlakuan benih; penanaman secara serentak; rotasi tanaman dengan jenis atau varietas yang berbeda; pemupukan berimbang; menjaga kebersihan lahan dari gulma; penanaman refugia seperti bunga kenikir, serai, dan bunga matahari.
Kegiatan pengamatan secara berkala juga merupakan upaya pencegahan dari serangan hama ulat S. frugiperda dan menjadi salah satu upaya penting untuk mengetahui kondisi populasi hama atautingkat serangan hama pada pertanaman jagung. Selain itu,informasi yang diperoleh dari pengamatan berkala dapat membantuuntuk menentukan langkah atau tindakan pengendalian yang tepat sehingga pengelolaan hama secara terpadu dapat terlaksana dengan baik.
Pengamatan hama ulat S. frugiperda dapat dilakukan mulai dari tanaman jagung berumur 5-7 hari setelah tanam (hst), kemudian diulang setiap 5 hari sekali. Pengamatan dilakukan secara visual terhadap 50 tanaman, kemudian dilakukan perhitungan persentase serangan dengan cara membagi jumlah tanaman terserang dengan jumlah seluruh tanaman yang diamati, lalu dikalikan dengan 100%.
Hasil dari pengamatan berkala menjadi dasar untuk melakukan tindakan pengendalian yang tepat.
Pengendalian secara fisik, mekanis, atau hayati dapat dilakukan apabila persentase serangan pada tanaman jagung berada di bawah ambang batas kendali, yaitu serangan ≤ 5% (daun berlubang berbentuk jendela kecil,terdapat ulat dan atau kotoran pada fase awal pertumbuhan) pada tanaman umur 4-21 hst; serangan ≤ 20% (daun segar berlubang berbentuk jendela kecil, terdapat ulat dan atau kotoran pada fase sebelum berbunga sampai awal berbunga) pada tanaman umur 22-55 hst, dan ≤ 10% (daun segar berlubang berbentuk jendela kecil, menggulung dan terjadi kerusakan daun segar pada fase awal berbunga dan terbentuknya tongkol jagung) pada tanaman umur 60-75 hst. Kemudian jika persentase serangan pada tanaman jagung umur 4-21 hst > 5%, umur 22-55 hst > 20%, dan umur 60-75 hst > 10%, maka lakukan pengendalian secara kimiawi.
Pengendalian secara fisik dan mekanis bersifat ramah lingkungan dan mudah untuk dilakukan. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan cara mengambil dan menghancurkan telur, larva, dan pupa ulat S. frugiperdasecara manual; menaburkan abu, pasir, tanah, kapur, sabun, atau serbuk gergaji ke bagian daun dan pucuk sebanyak 5-10 gram/tanaman untuk mematikan ulat pada instar awal; menyemprotkan larutan gula 25% (25 gram gula dalam 1 liter air) ke tanaman jagung untuk mengundang kehadiran semut; memasang perangkap cahaya minimal 1 perangkap/ha; memasang perangkap feromon seks untuk menarik imago jantan, minimal 15 perangkap/ha.
Alternatif pengendalian secara biologis atau hayati dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami berupa predator, parasitoid, dan patogen serangga, atau mengaplikasikan pestisida nabati. Predator untuk mengendalikan ulat S. frugiperda di antaranya adalah belalang sembah (Mantis religiosa), laba-laba (Oxyopes javanus), dan semut (Camponotus sp., Megaponera sp., Pheidole megachepala). Kemudian jenis parasitoid yang dapat dimanfaatkan untuk pengendalian S. frugiperda antara lain adalah Telenomus sp., Trichogramma sp., dan Eriborus sp. Sementara patogen serangga untuk S. frugiperda dapat berupa jamur, bakteri, dan virus.
Berdasarkan hasil penelitian, jamur patogen Beauveria bassiana dapat menyebabkan kematian ulat S. frugiperdahingga 93.75% dan menurunkan intensitas serangan hingga 60%, kemudian aplikasi ekstrak batang tanaman alala (Euphorbia neriifolia L.) pada skala laboratorium dapat menyebabkan penurunan aktivitas makan ulat S. frugiperda.
Pengendalian secara kultur teknis melalui penanaman jagung secara tumpangsari dengan tanaman yang mengeluarkan senyawa kimia volatil yang menolak hama dapat mendorong hama menjauhi tanaman utama, kemudian penanaman tanaman perangkap di sekeliling tanaman jagung dapat menarik perhatian hama untuk mendekati tanaman perangkap.
Cara pengendalian kultur teknis tersebut telah dilakukan oleh beberapa negara di Afrika dan berhasil menekan populasi ulat S. frugiperda hingga 82.7% dan kerusakan tanaman jagung berkurang sebesar 89.7%.
Pengendalian secara kimia dalam penerapan PHT menjadi alternatif terakhir ketika tingkat serangan hama melebihi ambang batas kendali.
Pestisida kimia yang dapat digunakan untuk mengendalikan hama S. frugiperda adalah pestisida kimia dengan bahan aktif klorantraniliprol, klotianidin, siantraniliprol, dan tetraniliprol.
Penggunaan pestisida kimia harus memenuhi rekomendasi 6 tepat, yaitu tepat jenis, tepat mutu, tepat dosis/konsentrasi, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat cara penggunaan.
Dengan memadukan berbagai cara pengendalian yang sesuai dan ramah lingkungan, harapannya pengendalian hama ulat grayak S. frugiperda pada tanaman jagung menjadi efektif dan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, serta hasil panen menjadi lebih berkualitas. Dengan demikian, lingkungan tetap sehat dan aman serta budidaya dan produksi jagung dapat berkelanjutan.





