Lembaga Pusat Pengembangan Daerah (LPPD) dan Forum Komunikasi Pemuda untuk Masyarakat (FKPM) Pertanyakan Sistem Kerja Pertambangan Rakyat pasca Pembagian SHU: Minta Transparansi dan Komitmen Kesejahteraan Masyarakat

SUMBAWA – Pasca pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) izin pertambangan rakyat (IPR), Forum Komunikasi Pemuda untuk Masyarakat (FKPM) kembali mempertanyakan kejelasan sistem kerja IPR serta komitmen para pengelolanya dalam memastikan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan utama.

Isu tersebut mencuat dalam pertemuan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang digelar atas inisiasi Kapolda NTB di Ruang Pertemuan Kafe Olive, Sabtu malam, 15 November 2025. Pertemuan itu digelar dalam rangka sosialisasi IPR, termasuk paparan mengenai prospek penghasilannya yang dinilai cukup fantastis.

Dalam kesempatan tersebut, pihak kepolisian juga menjelaskan konsep pertambangan rakyat yang diklaim ramah lingkungan. Disampaikan bahwa sistem pengelolaan IPR akan berjalan seiring dengan program perbaikan ekosistem, seperti reboisasi, serta melibatkan para ahli untuk menjaga keseimbangan alam di wilayah tambang.

Namun, FKPM menilai penjelasan tersebut belum mampu menggambarkan secara utuh mekanisme pengelolaan yang sesungguhnya. “Pertambangan tetaplah aktivitas eksploitasi yang mengeruk isi bumi dan merusak keaslian alam. Sehebat apa pun teorinya, komposisi dan struktur alam tidak mungkin kembali seperti semula,” ungkap Syaifullah. Karena itu, satu-satunya nilai tukar yang layak atas kerusakan besar tersebut adalah kesejahteraan bersama, tandasnya.

FKPM menegaskan bahwa untuk mencapai kesejahteraan bersama diperlukan sistem pengelolaan dari hulu ke hilir yang transparan dan bebas dari praktik rekayasa. Sayangnya, hingga kini sistem yang menjadi dasar operasional IPR dinilai belum dijelaskan secara detail dan ekplisit oleh pihak-pihak terkait.

Meskipun pihak pengelola menyampaikan bahwa IPR masih menggunakan sistem baru yang akan terus diperbaiki secara berkala, FKPM menilai hal itu masih dapat diterima selama titik awal sistem dibangun dengan benar dan dapat dinilai secara objektif. Ketiadaan kejelasan dianggap dapat memicu celah di berbagai sisi, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan gesekan di tengah masyarakat maupun internal koperasi tambang. Tandasnya

Jahudin Selaku Ketua LSM LPPD juga menyoroti pembagian SHU yang seharusnya menjadi indikator keberhasilan dan produktivitas koperasi. Dalam izin IPR disebutkan bahwa SHU dapat dibagikan setiap tiga bulan, bahkan setiap bulan. Meski pada praktek ideal Koperasi sisa hasil usaha dibagikan setiap 1 Tahun Kalender.
Menurutnya, masyarakat belum mendapatkan informasi yang terbuka terkait mekanisme pengelolaan IPR, termasuk bagaimana pertambangan yang ramah lingkungan dijalankan. Sebagaimana yang disebutkan Oleh Bapak Kapolda melibatkan. Para ahli dari kampus-kamlus terkemuka di Indonesia. Mana mereka tolong hadirkan Tandasnya.

Kekhawatiran lain muncul terkait dampak lingkungan. Aktivitas pertambangan di daerah hulu dinilai berisiko tinggi menimbulkan kerusakan yang berdampak langsung pada sektor pertanian dan permukiman. Sungai-sungai yang mengalir ke wilayah beberapa kecamatan terdampak seperti Moyo Hulu, Lopok, Moyo Hilir, hingga Moyo Utara akan sangat berdampak nyata. Keseimbangan ekosistem yang utuh merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat sementara eksistensi pertambangan di semua jenis sangat rentan terhadap pencemaran.

“Pertambangan ini menggunakan bahan kimia yang berdampak pada ekosistem dan kesehatan manusia. Sangat disayangkan jika nilai tukarnya tidak sebanding dengan risiko yang ditanggung masyarakat,” tegas perwakilan FKPM.

FKPM mendorong seluruh pihak terkait untuk membuka informasi seluas-luasnya kepada publik agar masyarakat dapat menilai apakah IPR benar-benar dijalankan untuk kepentingan bersama atau justru berpotensi menimbulkan kerugian jangka panjang. Sudah saatnya kita jujur pada kenyataan bahwa pihak kepolisian sudah terlalu jauh bermain diwilayah yang bukan domainnya. Seharusnya pemerintah provinsi melalui leading sektor terkait yang terlibat langsung sesuai sektor real yg diamanatkan oleh negara. Kita hidup dijaman tranparansi bukan lagi jamannya Sandiwara. Merekayasa seolah-olah itu berhasil. Namun pada kenyataannya itu belumlah berjalan. Jangan sampai hasil alam berupa emas ditukar dengan bencana. Karena pada akhirnya pemerintah Daerah sendiri yang akan bertanggung jawab untuk menanggulangi itu, tentunya dengan biaya yang tidak sedikit. Imbuhnya.

Berita Lainnya :