Sebagai anak zaman yang lahir pada 1955 (setelah 10 tahun Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945), mata hati saya menangis di balik rasa syukur peringatan HUT RI ke 80 tahun ini.
Minggu, 17 Agustus 2025, mata batin saya terbayang kembali bayang-bayang para syuhada negeri berjuang dengan doa, darah, dan nyawa untuk merebut kemerdekaan dari kolonial penjajah Belanda dan Jepang.
Saya membayangkan dalam renungan suci betapa mulia perjuangan para syuhada yang tulus kasih bersatu merebut negeri. Deru hantaman senjata canggih penjajah dikalahkan dengan bambu runcing yang bisu tak bersuara, berkat kumandang Allahu Akbar menggema bersahut-sahutan diseantero persada nusantara.
Para syuhada bersatu dalam perekat kekuatan Tuhan, dengan semboyan “Kita adalah saudara dari rahim Ibu Pertiwi”.
Para syuhada saling percaya dalam berjuang bersama menghalau badai zionis penjajah. Tetap tegar, pantang mundur sejengkal pun.
Darah mereka, darah pejuang. Darah pemberani perkasa.
Di bawah panji tauhid Bismillah, Allah maha perkasa dan kuat, mengantar perjuangan para syuhada dengan berkibarnya bendera merah putih disambut gegap gempita kemenangan di seluruh wilayah Tanah Air.
“Kita telah merdeka dari rahim yang satu,” pekik para syuhada yang disambut ucapan Alhamdulillah bagi yang muslim dan ucapan syukur yang sama dari saudara-saudara kita pemeluk agama lain.
Indonesia merdeka 80 tahun kini. Mari kita isi usia kemerdekaan kita dengan nawaitu yang sama. Yakni, jangan ada dusta di antara sesama anak bangsa.
Ingat!!! Wahai para penguasa negeri. Kita hidup susah dan senang, hidup kaya dan miskin, punya jabatan tinggi selangit, adalah satu darah bangsa dengan rakyat yang nestapa, yang nelengsa berjuang hidup kerja keras banting tulang siang malam hanya untuk makan seadanya.
Kita semua hidup dalam satu rumah besar: “Indonesia Tanah Airku”. Tanah Air siapapun yang bernama WNI. Tak disekat oleh suku dan agama.
Semua diri kita adalah warga negara yang punya hak berdiri tegak pada tanah yang sama. Pada air yang sama. Pada darah yang sama. Pada tulang yang sama. “Indonesia tumpah darahku.” Tumpah darah para syuhada, yang Insya Allah hidup tenang di Jannah yang kekal abadi.
Tapi kita anak-anak negeri hari ini. Riuh. Gegap gempita berteriak “merdeka! merdeka!! merdeka!!!” Sambil membusung dada. Seakan ingin mengklaim warisan kemerdekaan karena perjuangan seseorang. Atau segelintir orang.
Kita anak-anak zaman yang bernasib mujur. Entah karena harta kekayaannya melimpah tak bakal habis seratus keturunan. Entah lantaran kekuasaannya selagi berkuasa. Entah entah yang lain. Ramai-ramai berteriak, merdeka!!!
Sadarkah kita? Negeri ini adalah negeri kasihan. Kasihan dengan belas kasih negari lain. Utang ribuan triliun. Warisan pujangga kekuasaan.
Kita rakyat semakin nestapa. Nelangsa terkubur keserakahan para koruptor kakap triliun rupiah. Bahkan ribuan triliun. Tak akan habis sampai ratusan keturunan. Bahkan, sampai dunia kiamat sekalipun.
Rakyat nestapa tak tahu, utang yang terus berbunga setinggi gedung pencakar langit, bercampur baur yang halal dan haram.
Sadarkah kita? Jutaan anak-anak negeri disuruh menjadi budak dibeberapa negeri lain dengan sejuta cerita pilunya tersiksa. Sementara tenaga kerja asing, khususnya dari China berbondong-bondong diberi kemudahan datang di negeri ini.
Kemiskinan dan pengangguran semakin meluas. Terasa amat sangat berat untuk hidup layak. Tapi oknum-oknum petinggi negara gila-gilaan merampok uang rakyat bertriliun. Minimal bermiliar-miliar. Sementara rakyat mendapatkan 50 ribu rupiah saja harus bekerja keras seharian penuh di bawah terik menyengat dan guyuran hujan, demi sesuap nasi dan lauk seadanya.
Merdeka bagi rakyat nelangsa adalah kata indah di bibir. Tak merasakan makna sejati. Yakni, keadilan sosial, lapalagi keadilan ekonomi. Keadilan itu, ibarat jauh panggang dari api. Jauh langit dari bumi.
Rakyat terjerat dalam jaringan utang, tanpa harapan melunasi. Sedangkan koruptor nyaris bisa dihitung yang terjerat hukum. Tapi, terkesan lamban proses hukum, dari penyelidikan ke penyidikan.
Anggaran daerah pun terkorupsi dengan transaksi gelap aneka modus. Terjebak dalam lingkaran akal-akalan, yang tidak ada habisnya.
Negara kehilangan rohnya ketika hukum jadi anomali dan paradoks: tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Yang terasa hanya lambang, sementara rakyat menanggung realita pahit.
Penulis Merupakan Wartawan di Jakarta Sejak Juni Tahun 1979





