Pemerintah Kab.Sumbawa berperan serta membasmi rokok ILEGAL

Mutasi! Tak Pernah Ingkar Janji Oleh :Lukman Hakim. SH,. MSi.

Agustus ini bertepatan 6 bulan keberlangsungan kepemimpinan jarot-ansori dalam menjalankan roda pemerintahan di Kabupaten Sumbawa, awal agustus ini pula merupakan moment penting dalam menjalankan roda pemerintahannya, di karenakan pada tanggal 1 agustus ini dilaksanakan mutasi perdana jajaran yang akan mengimplementasikan visi dan misi yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) lima tahun kedepan.
Proses mutasi ini sudah berlangsung cukup lama, akan tetapi sebagai seorang pemimpin sudah barang tentu memilih waktu yang pas dan tepat untuk mengimplementasikannya, terkadang publik banyak menilai bahwa lamanya proses mutasi ini karena adanya tarik menarik kepentingan di ellit partai-partai pengusung atau barang kali masih banyak titipan tim sukses yang belum terakomodir?. Publik sah-sah saja menilai akan tetapi proses ini sudah on the track dengan kata lain sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Mutasi perdana ini akan menjawab kecemasan para PNS baik eselon II maupun esolon III yang malas-malasan bekerja karena sudah tahu posisinya masing-masing, memang dalam proses ini tidak akan dapat memuaskan semua pihak akan tetapi menjadi langka awal dalam mewujudkan sumbawa Unggul, Maju dan Sejahtera.
Untuk memahami secara komprehensif dinamika mutasi ini, penting untuk menjabarkan sudut pandang Kepala Daerah terpilih sebagai pengambil keputusan utama dalam restrukturisasi birokrasi di daerah. Perspektif ini sering kali tidak terartikulasi dengan baik dalam diskursus publik, padahal memberikan wawasan berharga mengenai pertimbangan, motivasi, dan kendala yang dihadapi kepala daerah dalam mengelola aparatur pemerintahan yang diwarisi dari rezim sebelumnya.
Ada beberapa perspektif dominan yang mempengaruhi pendekatan Kepala Daerah terhadap pelaksanaan mutasi pegawai; Pertama, Kebutuhan Penyelarasan Strategis, Bagi sebagian besar kepala daerah, mutasi dipandang sebagai instrumen strategis untuk menyelaraskan birokrasi dengan visi-misi yang dijanjikan selama kampanye. Mereka menekankan pentingnya memiliki tim yang memahami dan berkomitmen terhadap prioritas pembangunan yang telah dicanangkan atau di janjikan pada masyarakat; Kedua, Penilaian Loyalitas dan Kompetensi, Ada beberapa Kepala Daerah yang menekankan loyalitas personal sebagai kriteria utama dengan argumen bahwa “kompetensi dapat dibangun, tetapi loyalitas tidak” selain itu ada juga persepsi Kepala Daerah yang menyatakan lebih memprioritaskan kompetensi teknis dan rekam jejak kinerja, dengan prinsip “loyal kepada visi-misi, kinerja dan program kerja, bukan kepada pribadi pemimpin”; Ketiga Tekanan Politik dan Kompromi, terkadang hampir semua kepala daerah terpilih tersandra atau mengakui adanya tekanan politik dalam keputusan mutasi, baik dari partai pendukung/pengusung, tim sukses/relawan, maupun kelompok kepentingan yang berkontribusi pada kemenangannya, ada ekspektasi dari koalisi pendukung yang harus diakomodasi secara proporsional mesti tidak sesuai dengan hati Nurani calon terpilih; Keempat, Evaluasi Terhadap Warisan Birokrasi Rezim Sebelumnya. Kepala daerah menghadapi dilema dalam mengevaluasi aparatur yang ada. Di satu sisi, mereka membutuhkan waktu untuk menilai kinerja dan kompetensi riil, di lain sisi membutuhkan percepatan akserelasi mengejar ekpektasi public akan kinerja 6 bulan masa kerja walaupun hal ini tidak menjadi ukuran suatu keberhasilan dalam menjalankan roda pemerintahan dikarena kepala daerah memiliki masa waktu 5 tahun dalam menjalankan pemerintahan yang dipimpinnya.
Pemahaman terhadap perspektif kepala daerah ini penting dalam mengembangkan pendekatan yang lebih realistis dan kontekstual untuk mengelola transisi kepemimpinan. Alih-alih sekadar mengkritik mutasi sebagai praktik politisasi, penting untuk mengakui kompleksitas pertimbangan yang dihadapi kepala daerah dan mencari titik temu antara kebutuhan legitimasi politik dan mengharuskan adanya profesionalisme birokrasi.
Menuju Birokrasi yang Profesional dan Stabil
Dinamika mutasi pegawai merupakan fenomena kompleks yang berada pada persimpangan antara imperatif politik dan profesionalisme birokrasi. Meskipun kekhawatiran pegawai daerah menghadapi kemungkinan mutase ini memiliki landasan empiris yang kuat berdasarkan pengalaman masa lalu, terdapat juga indikasi perubahan positif dalam pengelolaan transisi kepemimpinan di berbagai daerah.
Jalan menuju birokrasi yang profesional dan stabil di tengah dinamika politik lokal membutuhkan pendekatan sistemik yang menyasar berbagai level intervensi. Transformasi ini tidak dapat terjadi dalam satu siklus politik, tetapi memerlukan upaya berkelanjutan dengan dukungan berbagai pemangku kepentingan. Beberapa pilar kunci dalam membangun birokrasi yang tangguh menghadapi transisi politik sebagai berikut :
Penguatan Perlindungan Institusional. Memperkuat kerangka regulasi dan kelembagaan yang melindungi integritas sistem merit dan netralitas birokrasi. Ini mencakup revisi undang undang dan peraturan yang memberikan batasan jelas terhadap diskresi politik dalam penempatan pegawai, serta penguatan lembaga pengawas independen seperti KASN dengan kewenangan penegakan yang lebih efektif.
Institusionalisasi Sistem dan Prosedur. Mengembangkan mekanisme teknis yang terstandarisasi dan terlembaga untuk penempatan pegawai berdasarkan kompetensi. Sistem assessment center, manajemen talenta, dan perencanaan suksesi yang berbasis teknologi dan transparan dapat menciptakan perlindungan struktural terhadap intervensi politik yang berlebihan.
Konsensus Elite Politik. Membangun kesepakatan di antara elite politik lokal mengenai pentingnya menjaga profesionalisme birokrasi melampaui siklus elektoral. Pembentukan “pakta integritas” antar kandidat kepala daerah dan pelibatan partai politik dalam dialog mengenai reformasi birokrasi dapat membantu menciptakan norma baru yang menghargai netralitas aparatur.
Pengawasan Publik. Mendorong partisipasi masyarakat sipil, media, dan pemangku kepentingan lain dalam memantau dan mengevaluasi proses mutasi. Transparansi data dan proses pengambilan keputusan, penyediaan layanan pelaporan pelanggaran, dan pelibatan lembaga pemantau independen dapat menciptakan perangkat pencegahan terhadap politisasi birokrasi.
Ke depan, visi birokrasi yang profesional, adaptif, namun stabil di tengah dinamika politik elektoral bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dicapai. Berbagai praktik terbaik di beberapa daerah telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara responsivitas politik dan profesionalisme birokrasi dapat diwujudkan dengan kombinasi tepat antara regulasi yang kuat, sistem yang kredibel, dan budaya organisasi yang mendukung. Transformasi ini tidak hanya akan bermanfaat bagi pegawai daerah dalam bentuk kepastian karier dan perlindungan profesional, tetapi juga bagi masyarakat melalui peningkatan kualitas dan kontinuitas pelayanan publik yang menjadi haknya sebagai warga negara.
Harap-harap cemas pegawai di kabupaten sumbawa hendaknya menjadi katalisator bagi percepatan reformasi birokrasi ini, di mana kekhawatiran kolektif ditransformasikan menjadi momentum perubahan. Dengan komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan, transisi dari birokrasi yang rentan terhadap politisasi menuju birokrasi yang profesional dan berorientasi pada pelayanan publik bukan sekadar aspirasi ideal, tetapi target yang konkret dan terukur untuk diwujudkan dalam dekade mendatang sehingga tercipta good dan clean governance yang nyata dan ukur, yang pasti mutasi!! Tak Perna Ingkar Janji…ingat iqrar dan janji kalian kepada Tuhan bukan kepada pimpinan berkerjalah dengan tulus dan iklhas ciptakan birokrasi yang bersih dan peduli. Besama kita wujudkan Sumbawa yang Unggul, Maju Dan Sejahtera.

Penulis merupakan Akademisi/Advokat